Jika
ingin memanen empat bulan ke depan, maka tanamlah padi. Jika ingin
memanen satu tahun ke depan, maka tanamlah tebu. Jika ingin memanen 10
tahun ke depan, maka tanamlah kelapa. Jika ingin memanen 15 sampai 20 ke
depan, maka tanamâlah manusia.
Cukup membanggakan,
menurut data UNESCO, Indonesia pantas menjadi model pemberantasan buta
aksara di kawasan Asia Pasific. sebab sejak 2007 mampu menurunkan 1,7
juta penyandang, sebagian besar diantaranya kaum perempuan. Program ini
berkat dukungan 59 PTN/PTS, termasuk ormas di berbagai daerah. Namun
sayang, keberhasilan ini tidak diikuti dengan minat baca yang tinggi
dari masyarakat.
Malah dari catatan
International Educatoional Achievement, sejak dua tahun lalu kemampuan
membaca para siswa di Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN.
Implikasinya, UNDP menempatkan kita dalam urutan rendah dalam hal
pembangunan SDM. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa orang yang melek
aksara belum menjamin meningkatkan minat membaca.
Pada negara maju,
membaca merupakan bagian dari hdup sekaligus hiburan. Makanya banyak
fasilitas dibangun juga referensi bacaan yang beragam. Di Jepang ada
prinsip teman duduk terbaik adalah buku. Di tempat-tempat umum kebiasaan
itu terpelihara dan di sekolah mewajibkan
para siswa membaca 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar
mengajar.Sejak Restoraji Meiji lebih seabad lalu, Jepang punya tekad
mengejar kemajuan kebudayaan barat. Sampai sekarang ribuan buku asing
terutama dari Amerika dan Eropa telah diterjemahkan kedalam bahasa
Jepang. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya
beredar puluhan juta ekslempar surat kabar, tiap bulannya beredar
ratusan juta majalah dan tiap tahunnya tercetak lebih dari 1 miliar
buku.
Di negeri Serawak
Malaysia, tengah digalakan minat membaca melalui keteladanan orang tua.
Pustaka publik di negeri Serawak Malaysia menyiasati dan meminta
kerjasama orang tua untuk menanamkan kebiasaan membaca. Orang tualah
yang dipinjami buku, dalam beberapa minggu petugas pustaka public dating
kembali untuk mengganti buku-buku lama dengan yang baru.Bagaimana kita
mengukur tinggi rendahnya minat baca sebuah masyarakat? Sekedar merujuk
hasil laporan pendidikan dari World Bank menunjukan minat baca siswa
kelas VI di Indonesia mencapai nilai 57,1%, sementara di Singapura
mencapai 74 % dan Hongkong 75,5%.
Kita tidak harus
membagakan diri dengan rendahnya minat baca atau berdiam diri tanpa
upaya meningkatkan minat baca masyarakat.Di negara kita, khususnya pada
tingkat masyarakat bawah, ternyata masih banyak buta aksara yang
berimbas pada kurangnya kemampuan membaca serta sulit mencari pekerjaan
yang memadai.
Kondisi ini berbalik
ketimpangannya dibanding dengan kalangan terdidik.Praktisi pendidikan
asal Yogyakarta, St Kartono menyebut bila faktor penting dalam
masyarakat yang mampu mendorong tumbuhnya minat baca adalah guru. Sebab
guru memiliki peluang untuk menciptakan pembelajaran yang berbasis buku,
juga mendorong siswa untuk aktif mengeksplorasi konteksnya dalam
masyarakat. Tidak ketinggalan bekal teori atau masukan dari berbagai
sumber pustaka.Keberadaan perpusatakaan juga mendukung tumbuhnya minat
membaca, bukan semata gudang buku.
Karena itu sekolah
harus mampu memaksimalkan fungsi perpustakaan, bukan sekadar aktivitas
pengisi waktu luang. Dinas pendidikan juga hendaknya bertanggung jawab
dengan menempatkan pustakawan pada tiap sekolah agar pengelolaanya
benar-benar berjalan.Untuk menunjang minat baca, memang tidak cukup
dengan imbauan dan seruan. Butuh kebijakan yang dijalin dalam sistem
pendidikan formal, di samping adanya fasilitas pendukung.
Dengan menbaca, kita
akan rela meninggalkan pandang sempit yang tidak sesuai zaman, serta
memperoleh imajinasi yang kuat untuk ikut mengejar kemajuan dalam
berbagai bidang yang juga tengah diraih bangsa-bangsa lain.
Tulisan ini di muat di :
Koran Pendidikan / Artikel 2365
Tidak ada komentar:
Posting Komentar