Kamis, 05 April 2012

Membangun kualitas manusia dengan membaca



Jika ingin memanen empat bulan ke depan, maka tanamlah padi. Jika ingin memanen satu tahun ke depan, maka tanamlah tebu. Jika ingin memanen 10 tahun ke depan, maka tanamlah kelapa. Jika ingin memanen 15 sampai 20 ke depan, maka tanamâlah manusia.
Cukup membanggakan, menurut data UNESCO, Indonesia pantas menjadi model pemberantasan buta aksara di kawasan Asia Pasific. sebab sejak 2007 mampu menurunkan 1,7 juta penyandang, sebagian besar diantaranya kaum perempuan. Program ini berkat dukungan 59 PTN/PTS, termasuk ormas di berbagai daerah. Namun sayang, keberhasilan ini tidak diikuti dengan minat baca yang tinggi dari masyarakat.
Malah dari catatan International Educatoional Achievement, sejak dua tahun lalu kemampuan membaca para siswa di Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Implikasinya, UNDP menempatkan kita dalam urutan rendah dalam hal pembangunan SDM. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa orang yang melek aksara belum menjamin meningkatkan minat membaca.
Pada negara maju, membaca merupakan bagian dari hdup sekaligus hiburan. Makanya banyak fasilitas dibangun juga referensi bacaan yang beragam. Di Jepang ada prinsip teman duduk terbaik adalah buku. Di tempat-tempat umum kebiasaan itu terpelihara dan di sekolah mewajibkan para siswa membaca 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar.Sejak Restoraji Meiji lebih seabad lalu, Jepang punya tekad mengejar kemajuan kebudayaan barat. Sampai sekarang ribuan buku asing terutama dari Amerika dan Eropa telah diterjemahkan kedalam bahasa Jepang. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya beredar puluhan juta ekslempar surat kabar, tiap bulannya beredar ratusan juta majalah dan tiap tahunnya tercetak lebih dari 1 miliar buku.
Di negeri Serawak Malaysia, tengah digalakan minat membaca melalui keteladanan orang tua. Pustaka publik di negeri Serawak Malaysia menyiasati dan meminta kerjasama orang tua untuk menanamkan kebiasaan membaca. Orang tualah yang dipinjami buku, dalam beberapa minggu petugas pustaka public dating kembali untuk mengganti buku-buku lama dengan yang baru.Bagaimana kita mengukur tinggi rendahnya minat baca sebuah masyarakat? Sekedar merujuk hasil laporan pendidikan dari World Bank menunjukan minat baca siswa kelas VI di Indonesia mencapai nilai 57,1%, sementara di Singapura mencapai 74 % dan Hongkong 75,5%.
Kita tidak harus membagakan diri dengan rendahnya minat baca atau berdiam diri tanpa upaya meningkatkan minat baca masyarakat.Di negara kita, khususnya pada tingkat masyarakat bawah, ternyata masih banyak buta aksara yang berimbas pada kurangnya kemampuan membaca serta sulit mencari pekerjaan yang memadai.
Kondisi ini berbalik ketimpangannya dibanding dengan kalangan terdidik.Praktisi pendidikan asal Yogyakarta, St Kartono menyebut bila faktor penting dalam masyarakat yang mampu mendorong tumbuhnya minat baca adalah guru. Sebab guru memiliki peluang untuk menciptakan pembelajaran yang berbasis buku, juga mendorong siswa untuk aktif mengeksplorasi konteksnya dalam masyarakat. Tidak ketinggalan bekal teori atau masukan dari berbagai sumber pustaka.Keberadaan perpusatakaan juga mendukung tumbuhnya minat membaca, bukan semata gudang buku.
Karena itu sekolah harus mampu memaksimalkan fungsi perpustakaan, bukan sekadar aktivitas pengisi waktu luang. Dinas pendidikan juga hendaknya bertanggung jawab dengan menempatkan pustakawan pada tiap sekolah agar pengelolaanya benar-benar berjalan.Untuk menunjang minat baca, memang tidak cukup dengan imbauan dan seruan. Butuh kebijakan yang dijalin dalam sistem pendidikan formal, di samping adanya fasilitas pendukung.
Dengan menbaca, kita akan rela meninggalkan pandang sempit yang tidak sesuai zaman, serta memperoleh imajinasi yang kuat untuk ikut mengejar kemajuan dalam berbagai bidang yang juga tengah diraih bangsa-bangsa lain.  

Tulisan ini di muat di :
Koran Pendidikan / Artikel 2365

Tidak ada komentar:

Posting Komentar